DIAGNOSIS KESULITAN MEMBACA PERMULAAN SISWA SD/MI MELALUI ANALISIS READING READINESS
Rajin Membaca, Genggam Dunia!. Jelajahi Dunia melalui Membaca!. Suka Membaca,
Tahu Semua! Tiga kalimat tersebut adalah slogan yang memotivasi seseorang agar
gemar membaca. Slogan tersebut juga mempunyai makna betapa besar manfaat membaca dalam rangka
menambah wawasan. Membaca mempunyai peranan yang besar dalam mencerdaskan suatu
masyarakat. Oleh karena itu keterampilan membaca merupakan keterampilan yang
perlu dimiliki oleh setiap lapisan masyarakat. Harris dan Sipay (1980:1) mengemukakan bahwa
kemampuan membaca mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan masyarakat.
Kemampuan membaca menjadi semakin penting karena kehidupan masyarakat juga
semakin kompleks. Kemajuan di bidang industri dan teknologi memerlukan orang
yang berpendidikan khusus di bidangnya. Untuk itu diperlukan orang yang
mempunyai kemampuan dan daya baca yang tinggi untuk mengkaji dan mendalami ilmu
pengetahuan dan teknologi. Ellis, dkk. (1989:254) menyatakan bahwa dalam
masyarakat yang secara sederhana diasumsikan seluruh anggota masyarakatnya
‘melek huruf’ atau bisa baca-tulis, membaca merupakan alat yang sangat
diperlukan dalam kehidupan modern.
Kebiasaan dan kegemaran membaca
perlu ditumbuhkan sejak dini. Dalam rangka menumbuhkan kebiasaan dan kegemaran
membaca pada suatu masyarakat perlu dimulai secara bertahap. Salah satu langkah
awal dalam menumbuhkan kebiasaan dan kegemaran membaca dalam masyarakat adalah
melalui penanaman kebiasaan membaca pada jenjang sekolah. Penanaman kebiasaan
membaca tersebut, perlu diupayakan sejak anak berada pada jenjang sekolah dasar/madrasah
ibtidaiyah (SD/MI).
Penanaman
kebiasaan membaca pada siswa SD/MI, perlu dimulai dari hal yang paling dasar
terlebih dahulu yaitu mengupayakan kelancaran membaca pada siswa. Siswa perlu
diajak untuk ‘melek huruf’ atau ‘melek wacana’ terlebih dahulu. Dalam mata
pelajaran Bahasa Indonesia di SD/MI, kegiatan yang berkaitan dengan masalah
tersebut terwadahi dalam pembelajaran membaca permulaan, khususnya terdapat
pada jenjang kelas 1 atau kelas 2 SD/MI. Dalam kondisi normal, pelaksanaan
pembelajaran membaca permulaan tersebut akan berjalan lancar, artinya siswa
dengan mudah memahami apa yang mereka pelajari dalam kegiatan membaca. Namun, tidak jarang ditemui berbagai
permasalahan dalam pembelajaran membaca permulaan. Sebagian siswa telah lancar
dan tidak mengalami hambatan dalam belajar membaca tetapi sebagian lainnya
belum bahkan tidak dapat atau tidak mampu membaca. Dalam kondisi tersebut para
guru, orang tua, dan orang dewasa lainnya perlu melakukan diagnosis yang
menyebabkan anak mengalamai kesulitan dalam belajar membaca. Dalam bahasan berikut ini dikemukakan salah
satu diagnosis kesulitan membaca permulaan siswa SD/MI melalui analisis reading
readiness.
2. HAKIKAT MEMBACA
Pada hakikatnya membaca merupakan proses memahami
dan merekonstruksi makna yang terkandung dalam bahan bacaan. Pesan atau makna
yang terkandung dalam teks bacaan merupakan interaksi timbal balik, interaksi
aktif, dan interaksi dinamis antara pengetahuan dasar yang dimiliki pembaca
dengan kalimat-kalimat, fakta, dan informasi yang tertuang dalam teks bacaan.
Informasi yang terdapat dalam bacaan merupakan informasi yang kasat mata atau
dapat disebut dengan sumber informasi visual. Pengetahuan dasar yang sebelumnya
telah dimiliki pembaca merupakan informasi yang tersimpan dalam memori
otak/pikiran pembaca atau dapat disebut dengan sumber informasi nonvisual. Kedua
macam sumber informasi tersebut perlu dimiliki secara berimbang oleh pembaca.
Artinya kemampuan mengenal informasi visual perlu diikuti dengan pengetahuan
dasar yang diperlukan untuk memahami suatu teks bacaan. Demikian pula
sebaliknya, pengetahuan dasar yang telah dimiliki perlu dilanjutkan dengan kemampuan
memahami informasi visual yang ada pada teks bacaan. Kemampuan penunjang lain
yang perlu dimiliki pembaca yaitu kemampuan menghubungkan gagasan yang dimiliki
dengan materi bacaan. Dalam kaitannya dengan pemahaman dan perekonstruksian
pesan atau makna yang terkandung dalam teks bacaan, Harris dan Sipay (1980)
menyatakan bahwa membaca merupakan proses menafsirkan makna bahasa tulis secara
tepat. Pengenalan makna kata sesuai dengan konteksnya merupakan prasyarat yang
diperlukan untuk memahami pesan yang terdapat pada bahan bacaan.
Membaca merupakan salah satu jenis
kemampuan berbahasa tulis yang bersifat reseptif. Disebut reseptif karena
dengan membaca seseorang akan memperoleh informasi, memperoleh ilmu dan
pengetahuan serta pengalaman-pengalaman baru. Semua yang diperoleh melalui
bacaan akan memungkinkan seseorang mampu mempertinggi daya pikirnya,
mempertajam pandangannya, dan memperluas wawasannya (Zuchdi dan Budiasih, 1996/1997:49).
Pendapat tersebut menekankan tentang pentingnya membaca bagi peningkatan
kualitas diri seseorang. Seseorang akan ‘gagap teknologi’ dan ‘gagap informasi’
apabila jarang atau tidak pernah melakukan kegiatan membaca. Informasi tentang
ilmu pengetahuan, teknologi, budaya, politik, sosial kemasyarakatan dan
berbagai informasi aktual lainnya senantiasa berkembang pesat dari hari ke
hari. Segala macam informasi dan perkembangan zaman tersebut selain dapat
diikuti dari media elektronik (misalnya TV), juga dapat diikuti melalui media
cetak dengan cara membaca. Kedua macam media informasi tersebut masing-masing
mempunyai kelebihan dan kekurangan. Media elektronik dapat diakses dengan cara
yang lebih santai karena tinggal menonton suatu tayangan di TV. Kelemahannya,
tayangan tersebut tidak dapat ditonton ulang apabila kita membutuhkan informasi
tersebut. Media cetak yang diakses dengan cara membaca mempunyai kekurangan
dari segi pembaca, yakni ketersediaan waktu yang kurang mencukupi dalam
membaca, kurangnya kemampuan memahami teks bacaan, rendahnya motivasi dalam
membaca, kurangnya kebiasaan membaca, dsb. Namun demikian, apabila dibandingkan
dengan media elektronik (misalnya TV), kegiatan membaca mempunyai kelebihan
yakni teks bacaan tersebut dapat dibaca ulang apabila informasi dalam teks
bacaan tersebut sewaktu-waktu diperlukan.
Dari hakikat membaca yang telah diuraikan tersebut dapat
dikemukakan bahwa kegiatan membaca mempunyai berbagai macam tujuan dan manfaat
dalam kehidupan sehari-hari. Setiap orang yang akan melakukan kegiatan membaca
tentu mempunyai maksud
mengapa dia perlu
membaca teks tersebut yang selanjutnya dapat mengambil manfaat setelah kegiatan
membaca berlangsung. Manfaat kegiatan membaca antara lain (1) sebagai media
rekreatif; (2) media aktualisasi diri; (3) media informatif; (4) media penambah
wawasan; (5) media untuk mempertajam penalaran; (6) media belajar suatu
keterampilan, (7) media pembentuk kecerdasan emosi dan spiritual; dsb.
Oleh karena kegiatan membaca mempunyai berbagai manfaat
dalam kehidupan, maka kegiatan membaca perlu dilatihkan secara intensif dalam
pembelajaran di sekolah, utamanya dimulai dari jenjang SD/MI. Pembelajaran
membaca di SD/MI secara intensif dilatihkan dalam mata pelajaran Bahasa
Indonesia. Secara umum pembelajaran membaca di SD/MI dikelompokkan menjadi dua
macam, yaitu membaca permulaan dan membaca lanjut. Dalam bahasan berikut ini
selanjutnya difokuskan tentang pembelajaran membaca permulaan serta bagamana
mendiagnosis kesulitannya apabila dalam pelaksanaannya ternyata siswa SD/MI
mengalami hambatan dalam belajar membaca.
3. PEMBELAJARAN MEMBACA PERMULAAN DI SD/MI
Pembelajaran membaca permulaan di SD/MI mempunyai nilai yang strategis
bagi pengembangan kepribadian dan kemampuan siswa. Pengembangan kepribadian
dapat ditanamkan melalui materi teks bacaan (wacana, kalimat, kata, suku kata,
huruf/bunyi bahasa) yang berisi pesan moral, nilai pendidikan, nilai sosial, nilai
emosional-spiritual, dan berbagai pesan lainnya sebagai dasar pembentuk
kepribadian yang baik pada siswa. Demikian pula dengan pengembangan kemampuan
juga dapat diajarkan secara terpadu melalui materi teks bacaan yang berisi
berbagai pengetahuan dan pengalaman baru yang pada akhirnya dapat berimplikasi
pada pengembangan kemampuan siswa. Akhadiah (1992) dalam Zuchdi
dan Budiasih (1996/1997:49) menyatakan bahwa melalui pembelajaran membaca, guru
dapat mengembangkan nilai-nilai moral, kemampuan bernalar dan kreativitas anak
didik.
Kegiatan membaca permulaan tidak
dapat dipisahkan dengan kegiatan menulis permulaan. Artinya, kedua macam
keterampilan berbahasa tersebut dapat dilatihkan secara bersamaan. Ketika siswa
belajar membaca, siswa juga belajar mengenal tulisan yakni berupa huruf-suku
kata-kata-kalimat yang dibaca. Setelah belajar membaca satuan unit bahasa
tersebut, siswa perlu belajar bagaimana menuliskannya. Demikian pula
sebaliknya, ketika siswa belajar menulis huruf-suku kata-kata-kalimat, siswa
juga belajar bagaimana cara membaca satuan unit bahasa tersebut.
Meskipun pembelajaran membaca dan
menulis permulaan dapat diajarkan secara terpadu, namun pelaksanaannya tetap
dilakukan secara bertahap, dimulai kegiatan membaca terlebih dahulu baru
kemudian dipadukan dengan kegiatan menulis. Hal itu dilakukan karena
keterampilan membaca dapat diprediksikan mempunyai tingkat kesulitan lebih rendah
dari pada keterampilan menulis yang mempunyai tingkat kesulitan lebih tinggi
karena perlu melibatkan keterampilan penunjang khusus yaitu berkaitan dengan kesiapan
keterampilan motorik siswa. Meskipun mempunyai keterampilan membaca mempunyai
tingkat kesulitan lebih rendah, namun masih cukup banyak dijumpai berbagai
kasus tentang kesulitan anak dalam membaca. Oleh karena itu dalam bahasan ini
difokuskan pada pembelajaran membaca, yakni membaca permulaan di SD/MI
Hasil
belajar yang diharapkan dalam pembelajaran Membaca Permulaan di kelas 1 SD/MI
antara lain siswa dapat (1) membiasakan diri dan bersikap dengan benar dalam
membaca gambar tunggal, gambar seri, dan gambar dalam buku; (2) membaca nyaring
suku kata, kata, label, angka Arab, kalimat sederhana; (3) membaca bersuara
(lancar) kalimat sederhana terdiri atas 3—5 kata; (4) membacakan penggalan
cerita dengan lafal dan intonasi yang tepat (Depdiknas, 2003). Hasil belajar
yang telah ditetapkan dalam kurikulum tersebut dapat dikembangkan sesuai dengan
kemampuan dan kondisi siswa. Pencapaiannya juga perlu dilakukan secara bertahap
berdasarkan tingkat kesulitan materi, kemampuan siswa, kondisi lingkungan
setempat, ketersediaan sarana dan prasarana, dsb.
Pembiasaan diri dalam bersikap dalam membaca
termasuk langkah awal dalam pembelajaran membaca permulaan. Siswa SD/MI perlu
dilatih bagaimana sikap duduk dalam membaca, berapa jarak ideal antara mata
dengan bahan bacaan, bagaimana cara meletakkan buku atau posisi di meja,
bagaimana cara memegang buku, bagaimana cara membuka halaman demi halaman pada
buku yang dibaca, dsb. Setelah materi tersebut dikuasai, baru mulai dilakukan
pembelajaran membaca nyaring tentang suku kata, kata, label, angka Arab, serta
kalimat sederhana. Dalam pelaksaanaan pembelajarannya dapat dilakukan dengan
dua cara, yaitu induktif dan deduktif.
Model induktif yaitu model pembelajaran dari khusus ke umum, sedangkan model
deduktif yaitu model pembelajaran dari umum ke khusus. Dalam model induktif,
siswa SD/MI diperkenalkan unit bahasa terkekil terlebih dahulu baru kemudian
mengenalkan kalimat dan wacana. Jadi, siswa diperkenalkan dulu bunyi-bunyi
bahasa atau huruf huruf, baru diperkenalkan suku kata. Dari suku kata
selanjutnya diperkenalkan kata dan dilanjutkan pengenalan kalimat serta teks
bacaan utuh atau wacana. Metode pembelajaran membaca menulis permulaan yang
menggunakan model pembelajaran induktif tersebut adalah (1) Metode Abjad; (2)
Metode Bunyi; (3) Metode Suku Kata; dan (4) Metode Kata Lembaga. Dalam Depdikbud
(1991/1992) disebutkan bahwa Metode Abjad adalah metode pembelajaran membaca
dan menulis permulaan dengan langkah-langkah pengenalan/membaca hurufm
merangkai huruf menjadi suku kata, menggabungkan suku kata menjadi kalimat.
Metode Bunyi mempunyai kesamaan dengan Metode Huruf, hanya berbeda dari segi
cara melafalkan huruf atau bunyi bahasa yang sedang dipelajari.
Metode Suku Kata adalah
metode pembelajaran membaca dan menulis permulaan dengan langkah-langkah
menyajikan kata-kata yang sudah dikupas menjadi suku kata. Kemudian suku-suku
kata itu dirangkaikan menjadi kata, dan langkah terakhir merangkai kata menjadi
kalimat. Metode ini hampir sama dengan Metode Kata Lembaga, yakni pembelajaran
membaca dan menulis permulaan yang pelaksanaan pembelajarannya dimulai dengan
mengenalkan kata. Dalam Zuchdi dan Budiasih (1996/1997) disebutkan bahwa ‘kata lembaga’
adalah kata-kata yang sudah dikenal anak.
Dalam model deduktif,
siswa SD/MI diperkenalkan unit bahasa terbesar terlebih dahulu (kalimat,
wacana) baru kemudian mengenalkan kata, suku kata, sampai dengan huruf-huruf
atau bunyi-bunyi bahasa. Metode pembelajaran yang menggunakan model
pembelajaran deduktif tersebut adalah (1) Metode Global dan Metode SAS. Zuchdi dan Budiasih (1996/1997)menyatakan bahwa Metode Global timbul sebagai akibat
adanya pengaruh psikologi gestalt, yang berpendapat bahwa suatu kebulatan atau
kesatuan akan lebih bermakna dari pada jumlah bagian-bagiannya. Dalam penerapannya
metode ini memperkenalkan kepada siswa SD/MI beberapa kalimat untuk dibaca. Meskipun
siswa belum mengenal huruf-huruf atau kata, siswa tetap diajarkan untuk membaca
kalimat tersebut dengan cara menirukan ulang kalimat yang dibaca oleh.guru.
Selanjutnya satu di antara kalimat tersebut diambil dan digunakan sebagai
contoh dari kalimat yang akan dianalisis. Kalimat-kalimat tersebut diuraikan
atyas kata, suku kata, huruf-huruf. Sesudah siswa mengenal huruf-huruf, barulah
huruf-huruf tersebut dirangkaikan menjadi suku kata, suku kata menjadi kata,
dan kata-kata menjadi kalimat.
Istilah SAS berasal
dari singkatan Struktural Analisis Sintetik. Meode SAS adalah metode
pembelajaran membaca dan menulis permulaan yang dimulai dengan langkah bercerita
sambil menunjukkan gambar pendukung. Setelah itu siswa diajak untuk membaca
gambar tersebut, yang dilanjutkan dengan membaca kalimat yang ada di bawah
gambar. Selanjutnya gambar dilepas atau diambil dan tinggal kalimatnya. Siswa
berlatih membaca kalimat tanpa bantuan gambar (proses struktural). Kalimat tersebut lalu dianalisis menjadi kata,
suku kata, huruf-huruf (proses analitik). Langkah terakhir adalah menggabungkan
kembali huruf-huruf menjadi suku kata, suku kata menjadi kata, dan kata-kata
menjadi kalimat (proses sintetik).
Metode-metode
pembelajaran membaca permulaan tersebut merupakan alternatif upaya yang
dilakukan agar siswa ‘melek huruf’ atau ‘melek wacana’. Dengan kata lain metode
pembelajaran membaca permulaan tersebut merupakan alternatif cara yang dapat
dipilih oleh guru agar siswa SD/MI dapat membaca dengan lancar. Setelah siswa
dapat membaca dengan lancar, barulah siswa dilatih untuk membaca berbagai teks
bacaan sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Dalam rangka melancarkan
keterampilan membaca, diajarkan pula cara melafalkan kata dan kalimat yang
benar serta diajarkan pula bagaimana intonasi yang wajar dalam membaca. Selain
teks nonsastra, teks sastra dikenalkan pula pada anak dalam pembelajaran
membaca permulaan, misalnya dalam pembelajaran membacakan penggalan cerita
dengan lafal dan intonasi yang tepat.
4. ANALISIS READING
READINESS PADA PEMBELAJARAN MEMBACA PERMULAAN DI SD/MI
Siswa SD/MI perlu memiliki keterampilan membaca yang memadahi.
Pembelajaran membaca di SD/MI yang dilaksanakan pada jenjang kelas 1 dan 2
merupakan pembelajaran membaca tahap awal atau disebut membaca permulaan.
Penguasaan keterampilan membaca permulaan mempunyai nilai yang strategis bagi
penguasaan mata pelajaran lain di SD/MI Oleh karena itu semua siswa SD/MI perlu
diupayakan agar dapat membaca dan memiliki kelancaran dalam membaca.
Meskipun berbagai upaya
telah dilakukan agar siswa lancar membaca, namun tidak jarang ditemui ada
beberapa atau sekelompok siswa yang mengalami kesulitan dalam membaca. Dalam
kondisi tersebut guru, orang tua, atau orang dewasa yang dekat dengan anak
perlu mengupayakan bantuan dan pendampingan agar anak yang mengalami kesulitan
membaca tersebut segera mendapatkan penanganan yang tepat. Salah satu upaya
yang dilakukan adalah melakukan diagnosis kesulitan membaca permulaan melalui
analisis reading readiness.
Dalam bidang
kedokteran, kata diagnosis berarti penentuan jenis penyakit dengan cara
meneliti/memeriksa gejala-gejalanya. Dalam bidang sosial, kata diagnosis
berarti pemeriksaan terhadap suatu hal (Depdiknas, 2002). Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa
diagnosis kesulitan membaca permulaan merupakan penentuan jenis
kesulitan yang dialami siswa dalam penguasaan keterampilan membaca permulaan
dengan cara menganalisis penyebab kesulitan dan upaya mengatasinya. Harris dan
Sipay (1980:19) menyatakan bahwa Reading readiness atau kesiapan membaca
dapat didefinisikan sebagai suatu pernyataan umum tentang kedewasaan, yakni
bakat, kemampuan belajar, dan keterampilan seorang anak yang memungkinkan belajar
membaca pada situasi pengajaran tertentu.
Faktor-faktor yang
berkaitan dengan analisis reading readiness atau kesiapan membaca yaitu
(1) fisik, (2) psikologis (3) jenis kelamin, (4) pengetahuan, dan (5) sosial
budaya. Faktor fisik yang berkaitan dengan kesiapan membaca antara lain
berkaitan dengan penglihatan, pendengaran, dan kekurangan nutrisi. Penglihatan
mempunyai kaitan yang sangat erat dengan kegiatan membaca. Apabila siswa SD/MI
mempunyai gangguan penglihatan yang parah, tentulah perlu bantuan paramedis.
Namun apabila gangguan penglihatan itu masih dalam batas toleransi maka
gangguan penglihatan yang berkaitan dengan kegiatan membaca tersebut dapat
diatasi dengan cara tertentu. Agar mempunyai tingkat kesiapan membaca yang
maksimal maka diperlukan alat penunjang kegiatan membaca yang sesuai. Misalnya,
gambar dan tulisan yang akan dijadikan alat untuk belajar membaca harus
berukuran besar dengan ukuran tinggi huruf kurang lebih 1 cm. Apabila pembelajaran
membaca dilaksanakan menggunakan media papan tulis, maka dipayakan menggunakan
papan tulis dengan jenis yang tidak mengkilat supaya tidak menyilaukan pandangan.
Selain itu perlu juga diupayakan menggunakan ruangan yang mempunyai cahaya yang
terang atau menggunakan lampu yang terang.
Di samping memiliki
kesiapan dari segi penglihatan, faktor fisik lainnya yang berkaitan dengan
kegiatan membaca bagi siswa SD/MI adalah faktor pendengaran. Seperti halnya
penglihatan, apabila siswa SD/MI mempunyai gangguan pendengaran yang parah,
tentulah perlu bantuan paramedis atau menggunakan alat elektronik sebagai alat
bantu pendengaran. Namun apabila gangguan pendengaran itu masih dalam batas
toleransi maka gangguan pendengaran yang berkaitan dengan kegiatan membaca
tersebut dapat diatasi dengan cara tertentu. Misalnya, siswa yang mempunyai
gangguan pendengaran tersebut diletakkan pada tempat yang dekat dengan
pengajar, yakni pada tempat duduk deretan paling depan. Pada waktu-waktu
tertentu, guru dan orang dewasa lainnya yang sedang mengajarkan membaca
permulaan pada siswa SD/MI perlu duduk berdekatan atau berdampingan dengan
siswa yang belajar membaca dengan sedikit menambah volume suara di atas suara
normal. Selain itu siswa SD/MI yang mengalami gangguan pendengaran tersebut
harus selalu menatap wajah, terutama mulut atau gerak bibir guru dan orang
dewasa lainnya yang sedang mengajarkan membaca.
Faktor fisik dengan
penglihatan dan pendengaran normal belum menjamin siswa SD/MI dapat berhasil
dalam membaca. Faktor fisik lainnya yang tidak kalah pentingnya adalah fakor
nutrisi. Nutrisi merupakan makanan bergizi yang diperlukan tubuh manusia.
Apabila seorang anak kekurangan nutrisi maka tubuhnya akan lemah dan tidak
memempunyai tenaga atau kekuatan untuk berbuat sesuatu. Apabila tubuh lemah,
maka secara tidak langsung akan berpengaruh pada kemampuan untuk belajar
sesuatu, termasuk belajar membaca. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
kekurangan nutrisi dapat mengakibatkan siswa SD/MI mengalami kesulitan dalam
belajar membaca permulaan. Dalam kondisi demikian maka guru atau pihak sekolah
perlu bekerja sama dengan lembaga terkait dan bekerja sama dengan pihak orang
tua siswa. Kegiatan yang dapat dilakukan misalnya menghubungi lembaga pemberi
bantuan dana kesehatan. Melalui lembaga ini siswa akan mendapatkan bantuan kesehatan
berupa pemberian vitamin tertentu dan tambahan makanan bergizi lainnya. Bentuk
kerja sama dengan orang tua yaitu memotivasi orang tua supaya selalu memberi
makanan yang bergizi pada anaknya terutama memberikan sarapan atau makan pagi.
Makanan yang diberikan kepada anak tidak harus mahal, tetapi harus mengandung
gizi yang baik.
Analisis kesiapan
membaca juga dapat dilihat dari faktor psikologis. Kondisi psikis yang baik
dapat diprediksikan dapat berpengaruh pada tingkat kesiapan membaca. Apabila
siswa SD/MI berada pada kondisi psikis yang tidak seimbang, maka perlu dicari
penyebab dan upaya mengatasinya. Guru atau orang dewasa lainnya yang
mengajarkan keterampilan membaca perlu memberikan motivasi, semangat, dorongan,
serta memberikan harapan pada siswa tentang manfaat apa yang akan diperoleh
siswa apabila dapat atau lancar membaca. Selain itu, pembelajaran membaca perlu
diupayakan dalam proses pembelajaran yang menyenangkan. Sebelum pembelajaran
membaca berlangsung, siswa perlu diajak bercerita, mendengarkan dongeng, atau
melihat gambar-gambar yang menarik. Melalui upaya tersebut siswa SD/MI
diharapkan berada dalam kondisi psikis yang baik sehingga mempunyai tingkat
kesiapan membaca yang baik pula. Dengan demikian siswa SD/MI tidak akan
mengalami kesulitan dalam belajar membaca.
Pada umumnya perbedaan
jenis kelamin mempunyai kaitan dengan minat seseorang anak terhadap belajar sesuatu.
Huss (dalam Huck, 1987) menyatakan keterkaitan antara minat baca dengan
perbedaan usia dan jenis kelamin, antara lain anak laki-laki tampak menyukai
petualangan, sedangkan anak perempuan menyukai fiksi. Dari pendapat tersebut
dapat dikatakan bahwa siswa SD/MI yang mengalami kesulitan dalam belajar
membaca perlu diberikan pemancing berupa cerita-cerita, dongeng-dongeng, atau gambar-gambar
yang sesuai dengan jenis kelamin dan kecenderungan minatnya. Hal lain yang
berkaitan dengan analisis kesiapan membaca adalah pengetahuan. Pengetahuan
merupakan segala sesuatu yang diketahui oleh anak. Pengetahuan tersebut berupa
pengalaman-pengalaman baik pengalaman yang dialami sendiri maupun pengalaman
yang diperoleh dari lingkungan. Semua pengetahuan atau pengalaman yang
tersimpan dalam memori otak tersebut akan memperkaya wawasan anak. Pengetahuan
dan pengalaman yang telah dimiliki itu akan mempermudah dalam belajar membaca,
karena anak dapat mengaitkan antara pengalaman dan pengetahuan yang telah dimilikinya
dengan apa yang dipelajari dalam membaca. Apabila siswa mengalami kesulitan
dalam membaca disebabkan kurangnya pengetahuan yang dimiliki, maka permasalahan
tersebut dapat diatasi dengan memberikan informasi yang menarik secara
terus-menerus dan berkesinambungan kepada siswa SD/MI. Dengan demikian
permasalahan kesulitan membaca yang disebabkan kurangnya pengetahuan dapat
diatasi sejak dini.
Faktor sosial budaya
tidak kalah pentingnya dalam analisis reading readiness atau kesiapan
membaca. Pada bahasa ini faktor sosial budaya hanya difokuskan pada budaya baca
atau kebiasaan membaca. Budaya baca di lingkungan tempat tinggal siswa maupun
budaya baca di lingkungan sekolah mempunyai kaitan dengan kesiapan membaca.
Apabila budaya baca pada lingkungan rumah maupun sekolah cukup baik, maka
diharapkan anak telah memiliki tingkat kesiapan membaca yang baik. Budaya baca
di lingkungan tempat tinggal siswa memang tidak dapat dikontrol secara
langsung, namun hanya dapat diatasi dengan cara menghimbau agar orang tua dan
anggota keluarga untuk meningkatkan budaya baca di rumah. Agar siswa SD/MI
tidak mengalami kesulitan dalam belajar membaca maka perlu diciptakan budaya
baca di sekolah maupun di lingkungan rumah. Dengan demikian diharapkan semua
siswa akan memiliki tingkat kesiapan membaca yang baik.
5. SIMPULAN
Setiap kegiatan
pembelajaran diharapkan dapat mencapai target hasil belajar tertentu. Salah
satu target hasil belajar yang ingin dicapai dalam kegiatan pembelajaran
membaca permulaan adalah siswa memiliki kelancaran dalam membaca. Pembelajaran
membaca permulaan dilaksanakan dengan berbagai metode. Setiap metode
pembelajaran membaca permulaan mempunyai kelebihan dan kekurangan
masing-masing. Metode yang satu akan melengkapi metode yang lain. Guru dapat
memilih salah satu atau menggabungkan berbagai metode sesuai dengan kondisi
siswa dan tersedianya sarana pendukung lainnya. Selain itu, guru juga boleh menciptakan model
baru dalam pelaksanaan pembelajaran membaca permulaan.
Pembelajaran membaca permulaan di SD/MI diharapkan akan
berhasil apabila siswa telah memiliki kesiapan membaca. Apabila ternyata masih
ada siswa yang mengalami kesulitan dalam membaca maka perlu dilakukan diagnosis
kesulitan membaca. Diagnosis kesulitan membaca perlu ditinjau dari berbagai
aspek. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan adalah melakukan diagnosis
kesulitan membaca permulaan melalui analisis reading readiness. Melalui
analisis ini maka kesulitan siswa SD/MI dalam membaca permulaan diharapkan
dapat diatasi dengan baik.
0 Response to "DIAGNOSIS KESULITAN MEMBACA PERMULAAN"
Posting Komentar